Salah satu tujuan saya pulang kampung tentus saja adalah untuk bertemu dengan orang tua dan juga anggota keluarga yang lain. Namun sepertinya akan menjadi sedikit sia-sia kalau saat di rumah hanya dihabiskan dengan bermalas-malasan atau berdiam diri saja. Dan akhirnya saya pun mengiyakan ajakan adik dan sepupu saya untuk pergi ke Curug Bidadari. Sebenarnya sudah cukup lama penasaran dengan tempat ini setelah melihat foto-fotonya di Instagram. Alasan lain saya mau menerima ajakan ini adalah karena saya sedang rajin-rajinnya cari foto dan bikin video dengan kamera baru. Biasa, karena masih baru jadi antusiasnya masih cukup menggebu-gebu.
Curug Bidadari atau yang biasa disebut dengan nama Curug Dinding Batu ini terletak diperbatasan antara Desa Silurah, Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang dengan Desa Jolotigo, Kecamatan Talun, Kabupaten Pekalongan. Kabarnya tempat ini pernah menjadi sengketa antara kedua desa tersebut yang sama-sama mengklaim berhak atas "kepemilikan" Curug Bidadari ini. Saat ini kedua desa tersebut sama-sama mempunyai akses atau pintu masuk menuju ke tempat tersebut. Namun walaupun saya tinggal di Kecamatan Wonotunggal, saya lebih memilih akses lewat Desa Jolotigo karena jalannya yang relatif lebih mudah. Akses menuju ke Curug Bidadari dari Desa Jolotigo melalui jalan aspal yang sudah cukup halus dan melewati persawahan serta perbukitan hijau dengan udara yang cukup segar. Sementara jika melewati Desa Silurah, kita harus bersiap-siap dengan medan jalan dari aspal yang sudah rusak dengan bebatuan yang sudah mulai lepas.
Ada memori dari masa kecil tentang Desa Jolotigo yang tidak pernah saya lupa sampai sekarang. Dulu orang tua saya pernah bercerita bahwa di Desa Jolotigo yang cukup jauh dari perkotaan ini ada sebuah gereja kecil yang dibangun dengan kayu. Rasa penasaran saya waktu kecil adalah bagaimana bisa di desa yang cukup terpencil ada komunitas agama Kristen yang cukup besar. Bukan karena masalah agamanya yang berbeda dengan agama penduduk lain disekitarnya yang beragama Islam. Tapi lebih penasaran terhadap penyebaran agama Kristen kenapa bisa sampai di daerah tersebut. Rasa penasaran masa kecilku terhadap keberadaan gereja kayu tersebut sedikit terjawab. Namun sudah tidak ada lagi gereja kayu di Desa Jolotigo, gereja tersebut sekarang sudah berganti dengan bangunan gereja yang dibangun dengan semen. Gereja tersebut bernama Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purbo.
Kembali lagi ke perjalanan menuju ke Curug Bidadari. Beberapa papan petunjuk akan dengan mudah kita temui sesampainya kita di Desa Jolotigo. Petunjuk tersebut memudahkan kita yang baru pertama kali mengunjungi tempat ini. Dari jalan utama Desa Jolotigo kita akan diarahkan menuju ke Dusun Purbo sampai melewati aspal terakhir. Setelah aspal tersebut kita akan disambut dengan jalanan tanah berbatu yang hanya bisa dilewati oleh kendaraan roda dua. Untuk pengunjung yang membawa mobil bisa memarkirkannya didepan rumah penduduk untuk kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati jalan berbatu dan hutan pinus. Jalan ini akan menjadi sangat licin jika sebelumnya hujan mengguyur tempat ini. Jarak yang harus ditempuh untuk sampai di lokasi juga cukup jauh. Jadi jangan lupa untuk siapkan tenaga ekstra terlebih dahulu.
Walaupun disebut dengan curug, sebenarnya ditempat ini tidak ada curug atau air terjun yang cukup tinggi. Tapi jangan salah, pesona dari tempat ini adalah adanya dinding-dinding batu yang membatasi sungai yang mengalir cukup deras ditengahnya. Dinding-dinding batu yang cukup tinggi tersebut tampak seperti terukir karena proses alam yang membuatnya menjadi cantik. Pada siang hari cahaya matahari akan menerobos masuk melalui celah-celah dinding. Aliran sungai yang ada ditempat ini memang cukup deras, terutama pada saat musim-musim hujan seperti sekarang ini. Namun sudah ada tali tambang yang dipasang yang bisa dijadikan sebagai pegangan jika ingin menyusurinya.
Di Curug Bidadari ini terdapat 2 cerukan atau kolam yang bisa digunakan sebagai tempat untuk berenang. Namun ditempat inilah justru ada tragedi kecil terjadi. Adik dan sepupu saya yang tidak bisa berenang hampir tenggelam di kolam tersebut. Awalnya mereka hanya bermain-main dipinggiran kolam. Namun kemudian mereka sedikit mendekat ke tengah waktu saya yang bermain pelampung menuju kearah mereka. Mereka berdua kemudian ikut berpegangan ke ban pelampung yang saya pakai. Karena aliran yang cukup deras, akhirnya mereka berdua ikut tersebut menuju kebawah pusaran. Hampir saja mereka berdua tenggelam karena tidak bisa berenang. Saya tidak bisa menolong keduanya secara bersama karena dalam keadaan yang cukup panik juga. Tapi bersyukur lah mereka masih bisa selamat. Jadi pelajaran cukup berharga banget buat saya dan khususnya mereka berdua untuk bisa lebih berhati-hati karena bahaya bisa ada dimana saja. Dan sangat tidak disarankan untuk berenang ditempat tersebut jika tida bisa benar-benar berenang atau tidak memakai alat keselamatan seperti pelampung.
Namun terlepas dari tragedi dan konflik masalah "kepemilikan" Curug Bidadari ini. Tempat ini memang cukup layak untuk didatangi.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete