Tuhan menciptakan alam ini untuk dinikmati oleh mahluknya secara gratis. Itu yang seharusnya terjadi, Dia tidak pernah meminta kita membayar untuk apa yang Dia ciptakan. Namun kita mempunyai kewajiban untuk menjaganya bukan untuk merusak agar suatu saat nanti anak cucu kita masih bisa menikmati keindahannya.
Tapi sepertinya komersialisasi alam sekarang ini sudah mulai tidak terkendali. Bukan hanya pembangunan hotel di kota Jogja saja yang menggusur lahan pertanian, tetapi sampai di ujung pelosok Jogja pun itu sudah mulai terjadi. Lihat saja daerah daerah didekat pantai di wilayah Gunungkidul.
Pembangunan penginapan dan hotel sudah sangat marak. Lahan-lahan sudah dipetak untuk segera dibangun. Yang lebih menyedihkan, banyak tanah disekitar pantai yang sudah dijual oleh perangkat desa kepada orang asing. Itu cerita yang saya dengar dari bapak-bapak yang saya temui di Pantai Pringjono saat saya berkemah di sana.
Pringjono adalah sebuah pantai kecil yang terletak tidak terlalu jauh dari pantai Nguyahan dan Ngobaran. Belum ada akses kendaraan bermotor untuk menuju pantai ini, kita harus berjalan kaki sekitar 30 menit menaiki dan menuruni bukit batu. Belum banyak yang tau tentang pantai ini karena memang pantai ini susah diakses dan jauh dari jalan raya. Kami harus menitipkan motor kita di Pantai Ngobaran.
Hari sudah cukup sore waktu kita sampai di Ngobaran. Saya datang kesini bersama dua teman saya, Didin dan Veri. Kami berangkat dari Jogja sekitar pukul 3 sore setelah saya pulang kerja. Berangkat dengan 2 motor. Cuaca sore itu sedikit gerimis tapi sunset di Ngobaran cukup bagus. Saya sebagai salah satu pecinta senja tidak lupa mengabadikan momen dulu.
Kita harus buru-buru berjalan sebelum hari gelap. Ini adalah pertama kalinya kita kesini. Kita tidak tau sama sekali dimana letak persis Pringjono. Berjalan menyusuri jalan setapak kecil melewati pantai Nguyahan.
Uniknya di Nguyahan ada beberapa rumah penduduk yang tinggal dsitu. Mereka bertanya kita mau kemana, mereka malah menyuruh kita untuk menginap dirumahnya. Mereka sempat melarang kita untuk melanjutkan perjalanan karena mereka bilang Pringjono masih jauh. Tapi tekad kita sudah bulat, kita harus melanjutkan perjalanan.
Setelah menaiki satu bukit yang ga terlalu tinggi. Kita bisa dengar suara ombak dari kejauhan. Kita berjalan mendekati suara deburan ombak tersebut. Modal kita malam itu hanya ponsel kita masing-masing. Kita lupa untuk membawa lampu senter.
Setelah menaiki satu bukit yang ga terlalu tinggi. Kita bisa dengar suara ombak dari kejauhan. Kita berjalan mendekati suara deburan ombak tersebut. Modal kita malam itu hanya ponsel kita masing-masing. Kita lupa untuk membawa lampu senter.
Lolongan anjing menyambut kita. Kita tidak tau sebenarnya tempat apa yang kita lewati karena sudah gelap. Yang bisa dilihat hanyalah beberapa gubuk kecil dan beberapa pohon kelapa yang tumbuh. Tapi pada siangnya waktu kita pulang, akhirnya kita tau bahwa yang kita lewati adalah gubuk tempat ternak para petani yang tinggal disekitar pantai. Anjing anjing itu bertugas untuk menjaga.
Akhirnya sampai juga di pantai yang kita juga setelah berjalan tanpa arah dalam gelap. Kita beristirahat sejenak untuk mengambil nafas dan memulihkan tenaga. Keadaan di pantai lumayan terang karena sinar bulan. Hanya ada deburan ombak yang bisa didengar tanpa kebisingan dari kendaraan bermotor. Arghh, begitu damai disini. Setelah cukup beristirahat kita memulai mendirikan tenda.
Jarak tenda ke bibir pantai hanya sekitar 50an meter. Sebetulnya saya punya sedikit trauma dengan air ombak. Pada waktu camping sebelumnya tenda kita pernah diterjang ombak di Pantai Baru. Saya orang pertama yang lari dan keluar dari tenda sambil teriak tsunami.
Hahaha
Tapi di sini saya coba untuk berfikiran positif dan mengikhlaskan semuanya agar hati lebih tenang.
Malam hari kita habiskan dengan duduk di depan pantai sambil melihat langit yang dipenuhi bintang. Sudah susah lihat bintang yang sebegitu banyaknya di kota. Kopi adalah teman yang tepat untuk menemani kita di malam yang dingin.
Malam hari kita habiskan dengan duduk di depan pantai sambil melihat langit yang dipenuhi bintang. Sudah susah lihat bintang yang sebegitu banyaknya di kota. Kopi adalah teman yang tepat untuk menemani kita di malam yang dingin.
Banyak cerita yang akhirnya terkuak disini, ya ini adalah semacam ajang curhat rutin seperti biasanya kalau kita sedang kemah. Malam itu tiba tiba cuaca tidak bersahabat. Sepertinya hujan lebat ditengah laut sana, tapi di daratan tidak turun hujan sama sekali. Petir menggelegar ditengah samudera. Seperti ada perang petir. Ini adalah pertama kalinya saya melihat badai petir di tengah laut, indah sekali.
Belum ada satu pun operator telepon seluler yang bisa menembus wilayah pantai ini. Kita benar-benar menikmati kebersamaan kita tanpa disibukkan dengan gadget kita masing-masing. Sejenak kita bisa melupakan semua masalah dan hidup tenang tanpa gangguan orang lain.
Belum ada satu pun operator telepon seluler yang bisa menembus wilayah pantai ini. Kita benar-benar menikmati kebersamaan kita tanpa disibukkan dengan gadget kita masing-masing. Sejenak kita bisa melupakan semua masalah dan hidup tenang tanpa gangguan orang lain.
Tidak ada orang lain yang banyak datang ke sini selain para petani yang menjemur rumput laut mereka. Belum ada sampah-sampah yang berserakan. Semoga yang akan datang kesini adalah orang yang peduli dan bertanggung jawab. Tidak meninggalkan sampahnya disni.
Ada ketakutan saya pada suatu saat nanti menikmati keindahan alam itu tidak akan gratis. Alam hanya akan dikuasai oleh orang-orang yang berduit. Mereka bisa saja membeli pantai-pantai ini dan menjadikannya pantai pribadi mereka. Membangun rumah mewah mereka. Semoga ini tidak akan pernah terjadi.
No comments:
Post a Comment